GULITA DI PAGI HARI

May 01, 2018

     ”Hidup tak semudah membalikkan kedua telapak tangan”.
Begitulah pepatah yang selalu aku dengar bahkan mungkin semua orang mengenal kalimat itu namun apakah maknanya benar-benar sesederhana itu ? Entahlah, biarkan saja. Bulan pertama, duduk di bangku pertama sekolah menengah atas memang sungguh mengesankan. Banyak kudengar dari beberapa orang yang kutemui bahwa masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan dan akan selalu dikenang. Tapi tak jarang pula kudengar, ada yang mengatakan bahwa masa SMA itu biasa saja. Hah, apapun itu bagiku nikmati saja. Seorang pria paru baya dengan rambutnya yang mulai memutih masih menerangkan mengenai syair dan sajak. Jujur saja, aku sedikit gusar karena berharap pelajaran hari ini cepat selesai. Huh, perutku benar-benar semakin tak bisa diajak kompromi. Maklum saja, aku tak menyentuh makanan apapun sejak tadi malam, apalagi akhir-akhir ini insomnia menyerang. Ya, aku tak mungkin izin keluar bahkan untuk sekedar mengisi perut mengingat guru di depan terkenal killer. Seperti itulah, istilah zaman sekarang menyebut guru yang emmm.. bagaimana aku mejelaskannya. Ah, pasti kalian mengerti maksudku.
Kring.. Kring..Kring... Akhirnya, bel tanda istirahat berbunyi nyaring. Sinyal yang sedari ditunggu-tunggu oleh semua termasuk aku tentunya. Dengan segera, aku merapikan buku dan memasukkanya ke dalam tas dan bergegas berlari ke kantin untuk mengisi perut yang malang. Syukurlah belum banyak yang antri di kantin. Aku memesan yakiniku kesukaan. Sungguh nikmat di tengah kelaparan yang melanda sampai-sampai aku tak menyadari ada dua orang yang telah duduk disampingku menatap heran. 
“ ckckckckk.. kamu itu makan apa makan ?” ucapnya sambil geleng-geleng kepala. Dia adalah Nia, gadis tomboy yang menjadi sahabatku sejak SMP. 
“ Kelaparan hahaha “ Satu lagi cletukan terdengar dari gadis yang duduk di samping Nia, namanya Ola.  
 “ Ih, kalian berdua gak nyambung banget sih “ Aku pura-pura marah mengembungkan pipi lalu kami tertawa bersama seolah-olah dunia ini hanya tercipta dengan kesenangan dan kebahagiaan. Nia dan Ola adalah sahabat terbaikku yang selalu ada dan menemaniku. Aku menyayangi mereka bahkan mungkin melebihi diriku sendiri. Bagiku persahabatan ini harga mati yang akan tetap abadi sampai kapanpun. 
Kuharap...
           Waktu menunjukkan pukul dua siang, saatnya semua mata pelajaran hari ini berakhir dan sudah pasti waktunya pulang ke rumah melepaskan penat setelah seharian berkutat dengan pelajaran di sekolah tercinta. Seperti biasa, aku menuju gerbang sekolah bersama Nia dan Ola untuk menunggu angkot yang biasa mengantar kami pulang dan pergi sekolah. Tidak hanya kami, teman-teman yang lain pun juga begitu tapi ada juga yang dijemput atau membawa motor sendiri. Aku terlalu malas untuk bermotor ke sekolah, lihat saja betapa penuhnya lahan parkir serta harus berdesak-desakan seperti itu, haaah...
Gotcha !! akhirnya angkot yang ditunggu sudah datang. Aku, Nia, dan Ola segera masuk ke dalam angkot sebelum didahului oleh yang lain. Huaaa, hari ini benar-benar sangat panas. Gerah luar biasa ditambah lagi bertumpuk banyak manusia di dalam angkot. Memang tak butuh waktu lama aku sudah sampai di depan rumah.
 “ Assalamualaikum “ aku memberi salam, sudah kebiasaan yang selalu diajarkan oleh kedua orang tuaku. Aku membuka sepatuku lalu mencari ibu.
 “ Mbaaak “ Aku kaget mendengar teriakan yang ternyata dari adik laki-lakiku yang entah darimana datang bersama ibu. Pantas saja rumah terlihat sepi. Aku menghampiri dua orang yang menjadi separuh nyawa di hidupku. 
“ Maaf ya mbak, tadi ibu sama adik pergi ke supermarket, baru pulang atau sudah daritadi ?” Aku mencium tangan ibu. 
“ Baru datang kok bu, oh ya memangnya ngapain ke supermarket ? Pasti adik minta beli jajan ya ?” ucapku sambil mencuil pipi adikku gemas yang masih duduk di bangku TK itu.
 “ Biarin “ adikku berlari ke kamarnya sambil memeletkan lidahnya padaku. Aku dan ibu tertawa melihatnya.  Ibu menyuruhku segera berganti pakaian, lalu shalat dzuhur dan makan. Kebetulan sekali hari ini ibu memasak makanan kesukaanku yaitu presto bandeng. Mantaaap,  membuatku semakin semangat.
Hari menjelang malam, waktunya aku belajar buat pelajaran besok supaya lebih paham. Aku malas makan malam bukan karena tidak suka masakan ibu tapi karena tadi siang aku makan sangat banyak, saking banyaknya sampai perutku serasa ingin meledak saja. Jadi, aku memilih untuk langsung belajar. Hampir satu jam berkutat dengan buku pelajaran, terdengar suara ketukan pintu kamar. Muncullah sesosok pria yang selalu kurindukan kehadirannya kini berdiri di hadapanku. Senyumnya selalu kurindukan, peluk hangatnya dan suara bariton yang dulu selalu menemani tidurku.
 “ Ayah..... “
Aku berhambur ke dalam dekapan hangat ayah. Betapa aku merindukannya. Sebulan tak bertemu membuat hidup terasa hampa. Kulihat sosok ibu tersenyum simpul melihatku dan ayah di ambang pintu. Wanita tercantik itu menghampiri lalu mendekap penuh kelembutan.
“ Ayah kemana saja ?” Aku menatap wajahnya yang masih sama seperti sebulan yang lalu.
“ Maafkan ayah ya cantik, ayah ada dinas ke luar kota. Hmm, ayah langsung pergi tanpa pamit padamu dulu.”
Ayah mengusap keningku lalu tersenyum ke arah ibu.
“ Iya mbak, Ibu kan udah bilang kalau ayah ada tugas dari kantor.”
“ Ha, ternyata Tony sudah tidur padahal ayah kangen banget.”
Ah, memang benar. Kalo jam seperti ini biasanya adik kecilku Tony sudah pasti tidur.  Ayah dan Ibu meninggalkan kamarku setelah cukup lama meleas kerinduan. Terkadang ingin menangis karena terharu dengan semua kehangatan yang diberikan keluarga kecil nan bahagia ini. Tak perlu uang berlimpah dan harta menggunung, selamanya seperti ini sudah lebih dari cukup bagiku.
Waktu berlalu begitu cepat. Detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu, dan minggu ke bulan terasa bergulir sangat cepat melebihi kecepatan kedipan mata. Berlebihan mungkin tapi aku merasa seperti itu. Hari ini aku menjalani ujian pertama sebagai siswi SMA padahal baru kemarin jadi siswa baru. Bersyukurlah kepada Tuhan karena semua berjalan dengan lancar dan terkendali.
Seperti sebelumnya, waktu memang selalu saja cepat berlalu tapi tak masalah, ujian telah berakhir. Masa-masa kritis terlewati sudah, tinggal duduk tenang menunggu hasil ujian lalu menikmati libur panjang yang menyenangkan. Dengan penuh kegembiraan aku pulang ke rumah. Kulihat ibu duduk di teras rumah tapi raut wjahnya nampak murung, menimbulkan keheranan dalam hati.
“ Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam mbak”
Aku semakin heran, wajah ibu tadi nampak sedih tapi sekarang berubah drastis. Wajahnya penuh dengan senyuman tapi ada sesuatu yang berbeda dari sorot manik hitam lembut itu. Sesuatu yang tersembunyi...
Beberapa hari ini, Ayah tak pulang ke rumah. Mungkin sibuk dengan kerjaan sehingga tak sempat pulang. Aku dan adik bertanya pada ibu dan seperti dugaan ayah memang sedang sibuk. Sore ini begitu menenangkan diiringi angin semilir menyejukkan kulit. Adikku, Tony bermain dengan motor kecilnya di teras rumah. Terkadang sesekali aku mengusilinya sehingga membuatnya marah tapi ini sangat menyenangkan.
‘ GUBRAKKK’
Terdengar sesuatu jatuh dari dalam rumah. Aku berlari ke dalam mencari sumber suara. Betapa kagetnya ketika mendapati ibu menangis dengan emosi yang nampak membara. Kaki ini menghampiri ibu.
“ Ibu kenapa ?“ Jelas aku sangat khawatir, tak pernah sebelumnya melihat ibu seperti ini.
Tak ada jawaban.
Ibu memelukku erat sambil berkata semuanya baik-baik saja. Aku tak bisa dan tak akan pernah bisa melihat wanita yang paling berharga bagiku menangis seperti ini. Ibu mengusap air matanya lalu tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku. Beribu tanya muncul di benak tapi tak berani bertanya lagi. Ada apa ? Ada apa ? pertanyaan itu berputar-putar di dalam otak.
Seminggu berlalu sejak kejadian ibu menangis dan ibu besikap seolah-olah tak terjadi apapun. Untung, libur telah tiba dan bersyukur mendapat peringkat pertama di kelas. Usaha yang tidak sia-sia belajar dengan serius. Liburan kali ini hanya di rumah saja, membantu ibu di rumah dan menikmati alam sekitar rumah yang tak kalah indah dengan taman hiburan karena ibu sangat suka dengan tanaman dan bunga sehingga pekarangan rumah ditumbuhi berbagai macam varietas bunga dan tanaman hias lainnya.
“ Mbak, bisa tolong antar uang ini ke toko Bu Ade ? Ibu kemarin membeli bunga tulip tapi karena gak ada uang pas jadi belum bayar.”
“ Siap komandan “ Dengan senang hati aku menyanggupi permintaan Ibu. Bu Ade adalah pemilik toko bunga di pinggir jalan kompleks rumahku. Berhubung cuaca cukup panas jadi aku memilih naik sepeda ke toko Bu Ade. Kupacu sepeda mini merah tosca pelan. Namun....
‘ TEEET... TEEEET.... CIIIIIIT’
Bau alkohol dimana-mana menyeruak masuk ke dalam indra penciuman. Tubuh terasa kaku dan sedikit perih. Sesuatu yang tak asing ketika kubuka mata. Kulirik ibu sedang menangis dengan beberapa orang yang kukenal. Aku tak mengerti apa yang terjadi, ibu langsung memelukku sambil menciumku. Terasa kekhawatiran yang begitu dalam. Ingin bibir ini bertanya namun ada sesuatu yang membuat perih di ujung bibir.
“ Apa ada yang sakit ?Maafkan Ibu ya mbak seharusnya ibu tidak menyuruh mbak mengantar uang ke toko bu Ade.”
Aku menggeleng. Aku ingat apa yang terjadi tapi tidak semuanya. Yang teringat adalah aku sedang di jalan lalu entahlah semua jadi gelap begitu saja. Baru kusadari bahwa aku mengalami kecelakaan. Beberapa kerabat datang menjenguk sekaligus menenangkan ibu namun dimana ayah?. Sehari di rumah sakit memang tidak enak, badan terasa nyeri. Sayup-sayup aku mendengar suara yang sangat familiar. Ya, itu suara ayah. Senang ayah sudah kembali tapi kenapa nada ibu terdengar dingin. Apa aku salah dengar. Tak lama kemudian ayah masuk lalu memelukku dan menanyakan keadaanku. Jelas di mataku ada yang aneh antara ayah dan ibu. Ada apa gerangan ? Semakin pusing kepalaku memikirkan teka-teki ini.
Hari ini aku sudah bisa pulang karena kondisi yang memang sudah membaik. Tiga hari di rumah sakit membuatku tak ingin lagi berada disini. Cukup sekali. Ayah, ibu, adik, dan kerabtku yang lain dan juga teman-temanku selalu menemani saat berada di rumah sakit, setidaknya membuatku sedikit lupa bahwa aku sedang dirawat. Bagaikan kenikmatan surga duniawi berada di rumah. Tiga hari di rumah sakit bagaikan tiga tahun. Kurebahkan tubuhku, luka-luka kecil masih tersisa namun tidak sesakit waktu pertama. Dan lagi aku mendengar suara ayah dan ibu. Kali ini benar-benar jelas ada yang berbeda. Ku intip dari balik ruang tamu, Ibu menatap ayah dingin dan penuh emosi. Apa yang terlihat di depan mataku ? Ibu dan ayah bertengkar begitu hebat. Ibu menangis, pilu, sangat pilu. 
Bagaikan disambar petir ketika ibu menyebutkan bahwa ayah telah menikah lagi tanpa sepengetahuan ibu dan telah memiliki seorang anak. Ragaku terasa kosong. Benarkah yang kudengar ini ataukah hanya ilusi ? Tuhan aku berharap ini hanya mimpi dan tolong bangunkan aku. Ayah melangkah meninggalkan ibu yang masih berderai. Aku tak berani menghampiri ibu karena masih ada kebingungan besar dengan semua ini. Hari ini semuanya jelas. Aku tau apa penyebab ibu akhir-akhir ini sering menangis, tatapan dingin ibu dan pertengkaran kemarin. Apa yang kudengar bukanlah ilusi namun adalah kenyataan pahit yang harus ditelan bulat-bulat. Sakit. Sangat sakit melebihi rasa sakit karena kecelakaan waktu itu. Ayah yang selalu kubanggakan berbuat sesuatu yang membuat muak. Aku tak percaya ini. Sangat tak percaya dengan surat pengajuan cerai yang diajukan oleh ibu. Keluarga harmonis yang kudambakan. Dimana ? Dimana sekarang ? Aku merasa ada gulita di pagi hari yang cerah ini. Suram dan gelap. Tak kusangka ada ranjau tersembunyi dalam keharmonisan keluargaku selama ini.
Ibu memelukku. “ Ikutlah dengan Ibu pulang ke rumah nenek.” Aku mengangguk, sesungguhnya aku belum sanggup bertemu dengan ayah. Aku butuh waktu. Detik ini aku, ibu, dan adik pindah ke rumah nenek meninggalkan kenyamanan rumah yang menjadi saksi bisu kejadian pilu.
Entah berapa kali aku mendapat telepon dari ayah namun aku tak kunjung mengangkatnya karena aku belum bisa. Ayah maafkan Tika.
Sebulan sudah semenjak kejadian yang tak ingin diingat itu. Semua mulai membaik. Namun, Ibu tetap pada keputusannya untuk berpisah dengan ayah. Meskipun ayah mencoba untuk kembali dan memulai semua dari awal. Aku paham betul bagaimana perasaaan ibu. Pasti sangat menyakitkan namun apakah aku harus membenci ayah ?
Tidak. Tidak akan. Aku telah berpikir dan telah belajar banyak dari kedua orang tuaku. Memang tak ada yang abadi. Apapun dan bagaimanapun ayah tetaplah sosok pria yang terpenting dalam hidupku. Ayah tetaplah ayahku apapun yang terjadi. Aku memilih ikut dengan ibu untuk tinggal di rumah nenek namun sesekali aku menginap di rumah ayah bersama adik karena aku tak ingin hubungan ini terputus begitu saja. 
             Terkadang aku bingung bagaimana menjelaskan pada adik kecilku tentang ayah dan ibu. Ha, biarlah waktu yang membantu menjawab semua. Sejujurnya, adikku terlalu kecil untuk semua ini namun apa mau dikata beginilah adanya. Aku memilih bersikap dewasa dengan kejadian ini. Cukup jadi pelajaran dan kegagalan pertama dan terakhir. Tak boleh terus menerus bersedih dan menggalau karena jalan hidupku masih panjang. Waktunya aku membahagiakan ibu dan membuktikan pada ayah bahwa aku akan tumbuh menjadi gadis kecilnya yang hebat. Aku tidak sendiri, banyak yang menyayangiku dan selalu mendukungku. Ibu, nenek, Bibi, Paman, Kakak, dan pastinya semua sahabatku yang tetap mau bersahabat denganku setelah apa yang terjadi di dalam keluargaku dan tentunya juga ayah. Aku tau ayah sangat menyayangiku. Aku takkan lagi mempertanyakan semua sebab-musabab kejadian ini. Biarlah menjadi lembaran hitam yang akan memutih dengan seiringnya waktu berlalu. Biar kisah ini menjadi kenangan yang tak perlu diingat. Biarlah, karena aku akan bangkit merekahkan senyum ibu kembali. Ibu, aku berjanji tak akan membuatmu menangis karena ibu adalah hidupku dan nyawaku.  Ayah, berbahagialah dengan kehidupanmu sekarang. Keluarga barumu sekarang. Ingatlah, jangan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Ayah tak perlu cemas karena aku dan Tony tetap akan jadi anak ayah yang akan selalu menyayangi ayah.
Ayah, Ibu... Tika dan Tony sayang kalian.

Hidup tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Namun hidup bagaikan sebuah telapak tangan. Berkelok dan penuh dengan garis rintangan. Setiap garis tangan manusia tak ada yang sama, begitulah kehidupan yang akan dihadapi oleh manusia. Tak ada yag sama. Tuhan menciptakan garis tangan sesuai dengan proporsinya, begitupun segala cobaan dan rintangan hidup manusia telah disesuaikan dengan kesanggupannya. Tak ada yang salah, kita hanya perlu menghadapinya dengan bijak dan penuh senyuman. Telapak tangan yang putih tetaplah memiliki corak sebagai estetika begitu juga kehidupan tak selamanya harus mulus namun perlu tinta untuk kedewasaan karena disitulah letak keindahan hidup.
Gulita tak hanya akan muncul di malam hari namun bisa di pagi hari layaknya kau tau gerhana matahari namun percayalah gulita di pagi hari hanya sementara karena mentari tetap akan bersinar lebih lama. Yakinlah kesedihanmu tak akan mampu mengalahkan kilau kebahagiaan yang terpancar dalam dirimu.

No comments:

DALAM HUJAN

           Ranting dedaunan menari seirama gejolak angin di musim ini. Musim yang membius seluruh raga dan bahkan mampu membekukan alira...

Theme images by jusant. Powered by Blogger.